Mencintai Namun Melepaskan?

Aku pernah membaca sebaris kalimat yang cukup menohok dalam sebuah buku antologi puisi yang menceritakan dua insan yang saling mencintai namun tidak dapat bersatu. Kalimatnya kurang lebih seperti ini:

Melepaskanmu adalah salah satu bentuk rasa cintaku padamu. Kalau memang dengan melepaskan bisa mengajarkan keikhlasan, kalau memang dengan melepaskan bisa membuatmu tersenyum bahagia tanpa halangan, lantas alasan apalagi yang harus kuelak untuk menahanmu? Melepaskanmu bukan berarti aku lengah, namun ini bentuk ketulusan dari seseorang yang tetap mencintaimu dari jauh
-- writer
cr: instagram.com/giuliajrosa

Hm, tampak klise? Entahlah, aku sendiri masih bingung dengan konsep tersebut. Sederhananya sih, kurang setuju. Rasanya cukup aneh jika harus merelakan orang yang kita cintai untuk pergi, di sisi lain mengatakan hal itu adalah bentuk kebahagiaan sendiri yang bisa dibagikan kepada orang lain dengan melihatnya berbahagia di luar sana.
 Lantas, mengapa harus ada konsep memiliki sebagai bentuk peresmian dua insan yang berjanji untuk saling menjaga hati (pendeknya pacaran)? Konsep ini ada sebagai bentuk nyata dua sejoli untuk mengikatkan diri dalam rasa cinta dari yang mengakui dan diakui. Cukup aneh setiap kali saya melihat pernyataan melepaskan sebagai bentuk cinta, padahal cinta sendiri didefinisikan sebagai bentuk emosi yang kuat terhadap ketertarikan terhadap sesuatu (dan seseorang)  yang muncul dari diri . Tentunya kalau kita mencintai sesuatu, baiknya kita menjaganya bukan?
Ibaratnya kamu memiliki sepasang sepatu favorit yang begitu kamu cintai keberadaannya, begitu membanggakan saat mengenakannya, dan tidak rela apabila ada orang lain hendak meminjamnya. Tentu kamu akan menjaganya dengan sepenuh hati bukan?
Sorry to say that i'm one of the person that against the concept of '' i love you but i'm letting go'' seperti lirik lagu andalan miliki Mas Pamungkas (tapi saya penikmat lagunya kok), karena pada hakikatnya kita mencintai bukan sekadar ikhlas, namun juga melihatnya menyatukan emosi dan saling melengkapi dalam ikatan perasaan cinta yang sama.
Kok mbulet tho? Yaweslah, cuma mau beropini saja, habis gatal akhir-akhir ini cukup sering menemukan kalimat ini di ranah jejaring sosial.
Oh iya, jangan malu-malu berpendapat, aku juga ingin mendengar opinimu.
Tenang, ini bukan segmen opini politik yang serius kok, kita santai-santai saja membahas kehidupan percintaan yang katanya orang-orang sih ada manis-manisnya gitu.

3 Komentar

  1. Halo saya Munjin, salam kenal!

    Saya tak sengaja memapir ke sini dan saya suka tulisan2mu. Meski pendek2, tetapi menarik untuk sekedar membuat saya sejenak mengeryitkan dahi sejenak haha.

    Mencintai namun melepaskan? hm menarik sih, tetapi bukankah memang seperti itu harusnya cinta? begini, kalo cinta dilihat dari sisi yang lebih luas lagi, bukankah cinta itu adalah upaya untuk 'menjaga' yang dicintainya itu?

    misal saja, cinta matahari kepada rerumputan yang ikhlas menyinari tanpa berharap apapun, ibu harimau yg tak memakan anaknya karena cinta pula, termasuk (untuk yang mengimani) Tuhan kepada makhluknya, apa Dia berharap atas cintanya untuk makhluk2nya? saya pikir tidak hehe.

    Jadi dalam konteks hubungan sepasang kekasih, melepaskan untuk mencintai, adalah wujud cinta yang paling tinggi kalo kita percaya cinta memang tanpa syarat, juga selain itu, wong ya pada hakikatnya dalam hubungan itu, 'saling memiliki' itu tidak ada.

    'Saling memiliki' yang sebenarnya hanya merupakan 'rasa' dan upaya untuk mendukung satu sama lain supaya bersama2 dapat mengambil sesuatu dari kehidupan ini.

    Jadi bersanding atau enggak, bukanlah poin utamannya.

    Semoga menambah perspektif baru 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Munjin! Salam kenal! Senang sekali ada yang meninggalkan komen di blog saya yang berarti kamu juga membaca tulisan saya. I really appreciated that!

      Terlebih lagi atas perspektif yang kamu sampaikan soal definisi 'cinta' ini sendiri. Mungkin saya masih harus belajar banyak untuk menjadikan momen 'melepaskan' sebagai bentuk rasa cinta. Karena saya pribadi masih sulit untuk memahami konteks itu, ditambah ketika saya selesai membaca buku yang saya singgung kutipannya di awal tulisan rasanya agak munafik kalau kita telah benar-benar mencintai seseorang tapi merefleksikannya dengan melepaskannya. Jadi, ya mungkin saya masih harus belajar lagi soal cinta-cintaan ini, hehe.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus