Sebuah Pesan untuk Mengingat Kematian


Kalau melihat judulnya terlihat menyengkak sekali ya? Seperti ustadzah yang hendak beri petuah rohani supaya insan-insan bisa lebih alim.

Duh, nggak sampai situ kok. Toh kapasitasku juga belum semumpuni itu. Pemahaman ini juga  baru saja didapat setelah leha-leha santai sembari membaca buku best seller-nya Eric Barker  yang  berjudul Mendaki Tangga yang Salah.
Tapi kalau diserap sekali lagi, relate nggak sih judul ini dengan kita? Hingar bingar dunya ini seakan sudah kelewat batas. Kapan sih kita cukup puas dengan menggenggam satu iPhone? Bahkan sekarang sudah upgrade sampai kelas 11. Kapan terakhir kita merasa puas dengan sepasang sepatu Ardiles yang terpatri kuat di kaki? Rasa-rasanya lihat Air Jordan keluaran terbaru yang collab bareng artis sudah bikin raga ini kejang kalau belum memasukkannya ke keranjang.

Sebenarnya petuah ini sama baiknya, bukan hanya untuk menyentil mereka yang memang sudah kuat secara iman, tapi juga untuk mereka yang lalai dan bolong-bolong sembahyang-nya. Keduanya sama-sama mendapat makna yang nggak kalah penting. Dari sedikit cermatan yang saya dapat dari tulisan Eric, pasalnya hal penting yang sebenarnya dari sekadar mengejar tujuan akhir dari sebuah hidup adalah bisa memberi makna dari perjalanan hidup kita. Nah, menariknya disini beliau menggarisbawahi, bagaimana cara memaknai hidup yang terlihat monoton? Ya, caranya dengan memikirkan kematian.

Source: Memoir of Alexander

Pesan ini juga seringkali dilontarkan sesepuh, buyut, nenek, opa, oma, hingga orangtua saya bahwasanya siap atau nggak siap, yo kita harus siap mati. Kalau kata nenek saya yang religiusnya nggak usah dipertanyakan lagi, bolak-balik beliau menuturkan, " Sejatinya orang yang sudah baik itu tidak takut untuk mati, makanya berlomba-lombalah dalam kebaikan dan jadi orang yg bermanfaat bagi orang lain".

Cukup kaget begitu mengetahui konsep kematian dan memikirkan kematian ini ternyata masih jadi salah satu pengiring bagi sebagian orang ekstremis-modern yang hidup di tengah gedung-gedung pencakar langit.  Stereotipe mereka yang terdengar begitu 'memuliakan dunya' dan seakan menentang akhirat sudah tertanam di sebagian benak sosial. Nyatanya 'mereka-mereka' ini tetap menyisihkan waktu untuk memikirkan kematian.
Ditambah dengan pemikiran David Brooks,  bahwa ada sebuah nilai yang bisa memengaruhi sekaligus memaknai hidup dengan mengingat kematian. Manusia bisa tumbuh dan mengembangkan nilai resume dan nilai eulogi yang terbentuk melalui sebuah proses  dengan melewati berbagai lika-liku kehidupan.

Penjelasannya , nilai resume ini adalah sebuah nilai eksternal indikator sebuah kesuksesan yang bisa dilihat secara kasat mata. Sebagai contoh bagaimana kita bekerja, belajar, atau menghasilkan sesuatu. Berbeda dengan nilai eulogi yang merupakan  sebuah karakter untuk membuat kita berpikir dan berdiri di sudut pojok ruangan sambil menggumam " apakah aku ini bisa dipercaya?" "punya cukup nyali untuk maju ?" "apa diri ini sudah cukup ramah dan cukup baik di mata orang lain?" Bahasa simpelnya, nilai eulogi ini semacam nilai psikologis yang biasanya dijadikan refleksi bagi sebagian orang ketika mereka tengah berpikir.
Nilai-nilai eulogi yang dikembangkan ini sederhananya menjadi akar rumput dari pemikiran tentang kematian.

Sangarnya, efek ini bukan main-main. Ketika kita mulai memikirkan kematian,  kita akan mencoba untuk mengubah pola pikir, dan bagaimana bertindak sesuatu ke orang lain. Secara skematis, manusia akan menjadi pribadi yang lebih murah hati dan ramah, sebagai upaya mengejar ekspektasi dan kedamaian untuk diri mereka sendiri. Ini menjadi sebuah ritual rohani yang tidak melulu harus mendatangi tempat ibadah atau merapalkan doa-doa suci dalam lisan. Cukup dengan menjalani hidup dan berinteraksi untuk semata-mata memberikan tebaran manfaat kepada orang lain.

Sudah maklum apabila homo sapiens selalu ingin memaknai kehidupan yang dasarnya selalu dikejar dengan kematian.  Karena pada akhirnya kita semua akan mati bukan? Mau se-super Nicholas Tesla, se-berjebah harta layaknya Steve Jobs atau se-jenius Stpehen Hawking, semua akan menjemput waktu dimana akan dijodohkan dengan ajalnya masing-masing.

Jadi, sudahkah kamu meluangkan waktu untuk memikirkan kematianmu hari ini?

0 Komentar